Obsesi Terhadap Nilai



Hii..Berhubung saya seorang mahasiswa yang masih aktif kuliah, saya ingin berbagi pendapat dalam tulisan saya kali ini mengenai “Obsesi terhadap Nilai”. Namun sebelum itu saya akan menjelaskan arti nilai itu sendiri. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Saya juga akan memberikan contoh kasus yang berhubungan dengan topik ini. Di simak yaa..

TEMPO.CO , Jakarta: Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI ) Retno Listyarti menjelaskan beberapa pola kecurangan yang berhasil terpantau oleh FSGI selama pelaksanaan ujian nasional untuk sekolah menengah atas dan sederajat sejak Senin, 13 April hingga Rabu, 15 April 2015.

Retno menjelaskan di Jawa Timur, khususnya Mojokerto dan Lamongan, ada laporan jual beli kunci jawaban UN. Harga kunci jawaban mencapai Rp 14 juta. "Para siswa saweran rata-rata sebesar Rp 50 ribu," kata Retno saat dihubungi Rabu, 15 April 2015.

Selain di Jawa Timur, di DKI Jakarta pun terjadi jual beli kunci jawaban antara Rp 14 juta hingga Rp 21 juta. Para siswa juga dikoordinasi untuk patungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.

Seorang guru juga melapor telah berhasil mengunduh 30 jenis soal ujian nasional untuk jurusan IPA dari dunia maya. Soal yang bocor adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Dari 30 file dalam bentuk PDF itu, sang pelapor mengaku berhasil mengunduh sebanyak 25 file.

Menurut Retno, soal yang diunduh itu ternyata sama persis untuk wilayah Pemalang, Bandung, dan Jakarta. "Di Jakarta, beberapa soal sama, tapi hanya dibedakan angkanya saja. Kesamaannya mencapai 50 persen," katanya.

Modus lain kecurangan itu adalah siswa mencontek dengan menggunakan handphone dan sobekan kecil. Ini terjadi di beberapa daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Lamongan, dan Jakarta. Retno mengatakan masih ada kecurangan dilakukan dengan melibatkan tim sukses di sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat.

"Sampai hari H hanya ada 3 laporan dari 3 daerah tentang hal itu. Padahal tahun lalu modus ini banyak ditemukan di berbagai daerah," kata Retno enggan menyebutkan tiga daerah itu.

Cara yang melibatkan tim sukses sekolah adalah para siswa hanya perlu menyebutkan nama, nomor ujian, dan nama sekolah kepada oknum. Kemudian petugas pemindai yang akan mengubah jawaban sesuai permintaan dan besarnya bayaran. "Makin banyak yang dibetulkan, makin mahal bayarannya," kata Retno. Pada modus ini, siswa harus merogoh kocek antara Rp 6 juta hingga Rp 12 juta per siswa.

Pada hari terakhir ujian nasional untuk Paper Based Test, Rabu 15 April, FSGI menerima laporan ketidaksinkronan antara audio dengan jawaban pada soal yang diterima siswa pada ujian mata pelajaran Bahasa Inggris. Soal bagian pendengaran sebanyak 15 soal dianulir dan dianggap bonus oleh panitia UN, sehingga soal untuk bahasa Inggris dari 50 soal hanya dihitung sebanyak 35 soal saja.

"Kasus eror ini terjadi di Blitar, Malang, Sidoarjo, Tulungagung, serta Banyuwangi," kata Retno.
Pada pelaksana UN 2015, FSGI membuka posko pengaduan di 46 kabupaten/kota. Tempat itu beberapa di antaranya adalah Medan, Deli Serdang, Binjai, Purbalingga, Pemalang, Mojokerto, Blitar, Gresik, Lamongan, Malang, Sidoarjo, Tulungagung, Banyuwangi, Surabaya, Indramayu, Garut, Bandung, Bekasi, Bogor, Tasikmalaya, Kota Mataram, Kota dan Kabupaten Bima, Jambi, DKI Jakarta, Bengkulu, Batam, Pekan Baru, Balikpapan, serta Kutai Barat.

Dari contoh kasus diatas, kecurangan-kecurangan yang terjadi bukanlah lagi masalah baru. Kita sudah sering mendengarnya.  Pastinya sangat memprihatinkan. Namun saya tidak akan mengulas mengenai masalah tersebut melainkan cara pandang kita yang melatarbelakangi perisiwa tersebut.

Seperti judulnya, kita tahu bahwa saat ini sistem pendidikan di Indonesia terfokus terhadap nilai yang dicapai seseorang. Kurikulum menuntut kita untuk mencapai standar nilai agar mendapat kelayakan atau kelulusan agar diakui. Hal ini menjadi beban tersendiri dikalangan pelajar ataupun mahasiswa. Seperti  halnya ujian nasional, beban seorang siswa agar dapat mencapai nilai kelulusan menyebabkan banyaknya kasus kecurangan yang terjadi. Standar nilai yang tinggi memaksa  siswa untuk bisa lulus bagaimanapun caranya, misalnya mencari kunci jawaban. Banyak yang beranggapan bahwa bahkan siswa pintar yang mendapat peringkat tinggi disekolah bisa tidak lulus apalagi yang biasa-biasa saja . Tentu saja pemikiran ini sering terlintas di benak kita semua. Lantas siapa yang bermasalah? Siswa? Guru? Sekolah? Pemerintah? Ntahlah. Dulu saat saya masih dijenjang sekolah, saya selalu berfikir apakah standar nilai yang demikian itu pantas untuk dijadikan patokan terhadap layak tidaknya seseorang dikatakan lulus dalam jenjang itu? Apalagi sistem pendidikan di Indonesia belum merata keseluruh daerah. Sekolah- sekolah yang berada di pelosok daerah disamakan standarnya dengan sekolah yang ada di kota. Bayangkan sekolah- sekolah di pelosok, dengan fasilitas minim dan tenaga pendidik yang  terbatas harus dipaksa mampu lulus dengan nilai yang sudah ditetapakan oleh pusat.  Miris sekali bukan?

Ada lagi masalah serupa dikalangan mahasiswa. Jelas kita tahu persoalannya tidak jauh-jauh dari IPK. Untuk memasuki instansi pekerjaan di Indonesia saat ini tidaklah mudah. Setiap perusahaan atau lembaga usaha yang membuka lowongan pekerjaan pastinya memiliki standar nilai tersendiri . Namun, untuk tahap awal perusahaan-perusahaan tersebut pastinya akan menyeleksi berkas lamaran pekerjaan calon karyawannya. Mereka akan memulai dengan membatasi pelamar dengan menetapkan IPK terlebih dahulu yang biasanya berkisar  >2,75. Dengan terbatasnya lapangan pekerjaan saat ini, apalagi yang diperparah dengan isu MEA tentunya kita sebagai generasi muda akan mulai mawas diri dengan keadaan yang seperti ini.  Jujur saja,  isu-isu mengenai tingkat inflasi yang tinggi, banyaknya pengangguran,  nilai tukar rupiah yang lemah menjadi beban yang mengahantui kita. Kita sebagai generasi muda mulai berpikiran mengenai bagaimana caranya kita mampu mendapat pekerjaan yang layak ke depannya.  Kita mulai beranggapan bahwa untuk mendapat pekerjaan tersebut harus mampu melewati ujian seleksi penerimaan karyawan baru dengan cara melewati berkas terlebih dulu. Bagaimana mungkin bisa masuk kalau berkas saja tidak diterima. Selain dari kemampuan dan lain-lain, tentunya IPK berperan besar didalam berkas tersebut.  Karena itulah, sejak dini kita mulai mengubah cara pandang kita dalam mengatasi hal ini. Tentunya dengan beranggapan bahwa kita bersekolah untuk mendapat pekerjaan. Kita belajar di jenjang pendidikan agar kelak mendapatkan kehidupan yang layak. Cara pandang inilah yang kemudian menjadi landasan pemahaman kita mengenai standar nilai yang harus kita capai untuk memenuhi tujuan-tujuan tadi. Bagaimana? Dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/kejuruaan, sampai perguruan tinggi. kita mulai terobsesi terhadap nilai yang diberikan guru. Kita mulai mengukur keberhasilan kita dengan kuantitas nilai. Ntah itu 80, 90 atau 100. Para murid dan guru berasumsi bahwa murid yang mendapat nilai yang tinggi pasti pintar. Sedangkan untuk anak yang nilainya rendah akan dianggap bodoh. Landasan pemikiran seperti ini membuat kita semakin berpandangan sempit terhadap obsesi kita terhadap nilai-nilai yang diukur dengan angka tersebut. Obsesi nilai ini bisa kita lihat dari berbagai elemen masyarakat. Misalnya Belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) saat hendak ujian, padahal ilmu yang didapat dengan cara seperti ini akan mudah terlupakan. Lalu kita dengan mudahnya  beranggapan “yang penting itu ujiannya”. Yaampun..bayangkan saja apabila ada > 50% orang anak berpikiran begitu dalam satu sekolah. Jujur saja, saya juga masih seperti itu. Kalau dipikir-pikir buruk sekali bukan? Padahal seharusnya kita belajar untuk memperkaya wawasan kita dengan ilmu-ilmu bermanfaat yang kemudian bisa kita implementasiakan dalam kehidupan. Begitu pula saat proses belajar-mengajar di kelas. Hanya segelintir orang yang akan benar-benar serius mengikuti pelajaran ketika kemampuan guru menerangkan  kurang baik. Kebanyakan siswa akan bergosip ria, menghayal, atau melakukan hal-hal yang dirasa nggak penting dengan anggapan “yang penting datang, ngerjain tugas, pulang” tanpa peduli ilmu apa yang dilewatkan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi dengan mencontek saat ujian seperti contoh kasus sebelumnya lalu beralasan “yang penting nilainya bagus” yang kemudian pandangan-pandangan tersebut mendominasi di masyarakat.

Kalau sudah begitu, siapa yang akan disalahkan? Tentunya tak ada pihak manapun yang mau disalahkan. Yaa itu sih tergantung individunya. Lantas apakah dengan tolak ukur nilai yang seperti itu sudah efektif? Saya rasa jawabannya belum. Mengapa? Karena seperti contoh kasus yang sudah diuraikan diatas, demi bisa lulus ujian kecurangan demi kecurangan dilakukan “apapun dihalalkan”.  Ironis memang, namun seperti itulah yang terjadi. Ini nyata terjadi di sekeliling kita. Nilai yang menjadi tolak ukur individu perlahan mengubah pandangan kita sedikit demi sedikit dan menyebabkan diri kita menjadi individu yag terobsesi dengan nilai. Bagaimana menurutmu?

Sekian untuk tulisan saya mengenai “Obsesi Terhadap Nilai”. Setiap orang punya pendapatnya masing-masing. Terimakasih, semoga bermanfaat^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Siapkah Koperasi Menghadapi Globalisasi?



Untuk pembahasan tugas sofskill kali ini saya akan mengulas tentang  “Siapkah Koperasi Menghadapi Globalisasi?”. Terlebih dulu saya akan jelaskan sedikit mengenai globalisasi.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Lantas, Siapkah Koperasi Menghadapi Globalisasi?
Menghadapi pasar global terutama perdagangan ASEAN – China dan ASEAN Community, koperasi di Indonesia dituntut untuk semakin dewasa dan mandiri.
Secara kualitas, koperasi Indonesia semakin meningkat dibanding beberapa tahun lalu.
KOPERASI sebagai pelaku usaha yang dikelola secara profesional oleh orang-orang yang kompeten, saat ini sebuah keniscayaan karena jumlahnya masih sedikit. Di lain pihak, hanya dengan berkoperasilah, kedaulatan ekonomi akan terwujud, kesejahteraan bersama tercapai,  keadilan penguasaan sumber daya ekonomi merata.
Koperasi menjamin terwujudnya kesejahteraan sosial karena didirikan dan dikendalikan bersama oleh anggotanya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Beberapa waktu lalu hasil sebuah survei menunjukkan masyarakat masih yakin bahwa koperasi dapat menyejahterakan anggotanya. Namun  mereka enggan menjadi anggota koperasi.
Akselerasi perkembangan dan kemajuan badan usaha lain sangat cepat. Sementara, akselerasi koperasi belum sepadan. Ketimpangan kemampuan usaha koperasi dibanding badan usaha lain sangat lebar. Maka tidak ada pilihan, koperasi harus melecut diri untuk meningkatkan kemampuan, terutama dalam menggali potensi ekonomi anggota.
Hasil survei itu menggambarkan nyata bahwa koperasi “hanya asyik di para penggeraknya, tidak ada di hati masyarakat.” Survei tersebut banyak  yang harus didalami.  Tetapi bagi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang memayungi koperasi Tanah Air  harus  membarui koperasi dengan tetap melandaskan pada jati diri lembaga itu  menjadi pilihan bijak.
Pembaruan dengan menata  secara mandiri  koperasi-koperasi agar sehat secara anggota, organisasi, usaha, modal, dan manajemen. Kesehatan  ini merupakan satu kesatuan agar koperasi bisa menjadi lembaga ekonomi besar, kuat, dan mandiri.
Langkah selanjutnya  mendorong koperasi-koperasi memodernisasi diri agar sebagai badan usaha  mampu menyesuaikan perkembangan  zaman sesuai dinamika ekonomi, strategi persaingan bisnis, rekayasa perusahaan,  rekayasa organisasi bisnis, dan keterkaitan sosial perusahaan.
Perkembangan teknologi telah dibarengi dengan perubahan pola kehidupan sosial masyarakat. Ini juga membawa perubahan perilaku ekonomi dalam berproduksi dan berkonsumsi.
Akselerasi perkembangan dan kemajuan badan usaha lain sangat cepat. Sementara, akselerasi koperasi belum sepadan. Ketimpangan kemampuan usaha koperasi dibanding badan usaha lain sangat lebar. Maka tidak ada pilihan, koperasi harus melecut diri untuk meningkatkan kemampuan, terutama dalam menggali potensi ekonomi anggota. Caranya  dengan inovasi dan berkreasi serta memperbesar jumlah anggota.
Di tingkat internasional peran koperasi telah berkontribusi baik. Dalam ketahanan pangan, lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, dan pembangunan integrasi sosial berkelanjutan telah mendapat pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Meski demikian, modernisasi koperasi harus dilakukan dengan baik, berkesinambungan dan, simultan. Antara lain bidang organisasi, manajemen, usaha, dan sarana produksi/pelayanan koperasi.

Liberalisasi Pasar
Perdagangan bebas menjadi bagian dari skenario dunia dipelopori negara-negara maju. Latar belakang di antaranya karena ketimpangan pertumbuhan ekonomi antarkawasan, kepemilikan sumber daya alam dan kualitas manusia. Ada juga hasrat hegemoni negara maju atas  bangsa berkembang. Negara maju ingin  menguasai sumber daya alam dan menjual produk industri.
Skenario yang dilandasi  berkembangnya liberalisme dunia  ini sebenarnya akan memperlemah tata ekonomi dunia. Pelemahan terjadi karena tidak adanya kesempatan negara berkembang mengembangkan kemandirian ekonomi dan kreativitas rakyat dalam mengolah sumber adaya alam.
Di lain pihak, keserakahan negara maju atas penguasaan ekonomi negara berkembang diwujudkan dalam bentuk penguasaan aset perusahaan. Banyak  operasi perusahaan tersebut keuntungannya   dinikmati negara maju.
Kondisi ini berdampak semakin timpangnya strata sosial masyarakat karena  kualitas kemampuan dan penguasaan sumber daya ekonomi. Persoalan ini harus diatasi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial pada simbol-simbol kapitalistik seperti gerai-gerai  waralaba internasional.
Kehati-hatian kita mengikuti tren perdagangan bebas atau globalisasi menjadi penting karena tersembunyi sifat  kapitalis atas sumber daya ekonomi pada bangsa, kelompok masyarakat atau kawasan tertentu.
Bahasa singkat dari dialektika ini, globalisasi atau perdagangan bebas dapat menjadi kekuatan dunia atas suatu bangsa di bidang ekonomi. Dalam  jangka panjang bisa  mempengaruhi setiap pengambilan keputusan politik negara tersebut untuk menancapkan kepentingan ekonomi.
Perdagangan bebas merupakan permainan kaum pemodal yang lahir dan berkembang dalam alam libaralisme  negara-negara maju. Sumber daya manusia yang unggul dan penguasaan teknologi membuat mereka mempunyai kemampuan re-enginering sosial, ekonomi, politik dan budaya. Ini bisa  menempatkan kepemilikan tanpa batas atas sumber daya ekonomi.
Pemerintah negara maju sering menjadi alat  pemodal untuk menekan negara lain guna menjaga kepentingan ekonomi dan penguasaan sumber daya lain.
Pada era perdagangan bebas ini diplomasi negara berubah dari  politik menjadi politik ekonomi. Kepentingan ekonomi negara menjadi lebih dominan dibanding persoalan tata politik dunia baru. Ekonomi telah menjadi panglima dalam percaturan negara-negara dunia. Pada kondisi ini negara maju akan selalu menekan  negara berkembang untuk menjaga kepentingan ekonominya.

Peluang dan Tantangan Koperasi Dalam Era Globalisasi
Pada waktu krisis moneter dan ekonomi menghantam Indonesia, ternyata BUMS dan BUMN/BUMD banyak yang kelimpungan gulung tikar, meninggalkan hutang yang demikian besr. Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK) yang biasanya dianggap tidak penting dan disepelekan justru sebagian besar dapat eksis dalam menghadapi badai krisis. Dengan demikian sektor yang disebut belakangan (UKMK) dapat menjadi pengganjal untuk tidak terjadinya kebangkrutan perekonomian, bahkan sebaliknya dapat diharapkan sebagai motor penggerak roda perekonomian nasional untuk keluar dari krisis. Sebagai misal banyak peluang pasar yang semula tertutup sekarang menjadi terbuka. Contohnya, akibat mahalnya harga obat, yang sebagian besar masih harus diimpor, produsen jamu (ada yang membentuk koperasi) mendapat kesempatan memperlebar pasarnya dari pangsa yang lebih menyerupai "ceruk pasar" menuju kepada pasar yang lebih bermakna. Sebagai gambaran penyebab krisis ekonomi ada baiknya dikemukakan pendapat Mubyarto (1999) sebagai berikut: (1) Terlalu berpikir global (dan keramahannya). (Thus, terlalu mengabaikan ekonomi rakyat); (2) Terlalu suka disanjung. (Thus, terlalu buta/tuli terhadap kritik); (3) Terlalu individualistik/ memikirkan kepentingan sendiri.  (Thus,  tidak melihat adanya kesenjangan sosial yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat; (4) Terlalu bisnis dan profit oriented. (Thus,  lupa pada masalah-masalah sosial dan moral); (5) Terlalu silau pada dunia kebendaan/materi.  (Thus.  tidak pernah mensyukuri nikamt Alaah); (6) Terlalu  industry minded. (Thus.  lupa pertanian/pedesaan); (7) Terlalu ebrpikir kekinian. (Thus,  lupa pada sejarah); (8) Terlalu silau pada yang serba asing.  (Thus,  Pikiran pakar-pakar pribumi diremehkan); (9) Terlalu percaya pada pasar (deregulasi yang kebablasan). (Thus,  lupa bahwa pasar yang liberal, yang kecil/gurem pasti kalah dan yang kuat pasti menang); (10) Terlalu meremehkan ideologi.  (Thus, Indonesia sama saja dengan negara-negara lain, tidak ada itu Ekonomi Pancasila); (11) Terlalu mendewakan keserasian, keseimbangan dan keselarasan.  (Thus,  yang konflik harus disembunyikan / ditabukan); (12) Terlalu berpihak kepada konglomerat. (Ekonomi Rakyat ditelantarkan); (13) Konglomerat terlalu serakat  (overborrowing). (Thus,  kita semua dihukum Tuhan); (14) Konglomerat terlalu menuruti ambisi pemerintah yang ingin tumbuh terlalu cepat.  (Thus, melanggar pasal 33 UUD 1945); (15) Terlalu meremehkan sistem ekonomi.  (Thus, mengakibatkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang tidak konsisten, pemerintah tidak punya visi jauh ke depan); (16) Terlalu mementingkan keseragaman  (uruformitas)  -SARA yang merupakan fondasi bangsa ditabukan.; (17) Pemerintah terlalu sentralistis. (Thus,  daerah-daerah tidak bergairah membangun daerahnya dengan cara-caranya sendiri); (18) Terlalu pragmatis.  (Thus,  tanpa sistem); (19) Terlalu mementingkan stabilitas  (Thus, stabilitas pemerintah /  status quo). Terlepas apakah globalisasi benar-benar akan terwujud atau hanya impian ataupun kejadian hanya bersifat parsial saha dan bahkan mungkin dalam bentuk yang sama sekali ebrbeda, itu semata-mata rahasia Allah SWT. Seandainya globalisasi benar-benar terwujud sesuai dengan skenario terjadinya pasar bebas dan persaingan bebas, maka bukan berarti tamatlah riwayatnya koperasi. Peluang koperasi untuk tetap berperan dalam percaturan perekonomian nasional dan itnernasional terbuka lebar asal koperasi dapat berbenah diri menjadi salah satu pelaku ekonomi (badan usaha) yang kompetitif dibandingkan pelaku ekonomi lainnya. Tantangan untuk pengembangan masa depan memang relatif berat, karena kalau tidak dilakukan pemberdayaan dalam koperasi dapat tergusur dalam percaturan persaingan yang makin alam kamin intens dan mengglobal. Kalu kita lihat ciri-ciri globalisasi dimana pergerakan barang, modal dan uang demikian bebas dan perlakuan terhadap pelaku ekonomi sendiri dan asing (luar negeri) sama, maka tidak ada alasan bagi suatu negara untuk meninabobokan para pelaku ekonomi (termasuk koperasi) yang tidak efisien dan kompetitif.

Langkah-Langkah Antisipatif Koperasi Dalam Globalisasi
E.F. Schumacher (1978) berpendapat bahwa  small is beautiful.  John Naisbitt (1944) merasa percaya bahwa masa depan perekonomian global berada ditangan unit usaha yang kecil, otonom, namun padat teknologi. Dari kedua pendapat tersebut mendorong keyakinan kita bahwa sektor-sektor usaha kecil di Indonesia perlu diberi kesempatan untuk berperan lebih banyak. Oleh karena itu. paradigms pengembangan ekonomi rakyat layak diaplikasikan dalam tatanan praktis. Pendapat A.P.Y. Djogo (dalam Mubyarto, 1999) perlu dikemukakan yang menganalisis perbedaan antara  "ekonomi rakyat"  dan  "ekonomi konglomerat"  dengan kesimpulan bahwa, jika ekonomi konglomerat "sejak dari sananya" adalah "ekonomi pertumbuhan", maka ekonomi rakyat adalah "ekonomi pemerataan". Keistimewaan koperasi tidak dikenal adanya majikan dan buruh, serta tidak ada istilah pemegang saham mayoritas. Semua anggota berposisi sama, dengan hak suara sama. Oleh karena itu, apabila aktivitas produksi yang dilakukan koperasi ternyata dapat memberi laba finansial, semua pihak akan turut menikmati laba tersebut. untuk mengembangkan koperasi banyak hal yang perlu dibenahi, baik keadaan internal maupun eksternal. Di sisi internal, dalam tubuh koperasi masih banyak virus yang merugikan. Yang paling berbahaya adalah penyalahgunaan koperasi sebagai wahana sosial politik. Manuver koperasi pada akhirnya bukan ditujukan untuk kemajuan kopearasi dan kesejahteraan anggota, mealinkan untuk keuntungan politis kelompok tertentu.. Sebagai contoh, mislanya KUD (Koprasi Unit Desa) diplesetkan menjadi "Ketua Untung Dulu", tentunya menggambarkan yang diuntungkan koperasi adalah para elit pengurusnya (Indra Ismawan, 2001). Parahnya lagi para pengurus koperasi kadangkala merangkap jabatan birokratis, politis atau jabatankemasyarakatan, sehingga terjadinya konflik peran. Konflik yang berlatarbelakang nonkoperasi dapat terbawa kedalam lembaga koperasi, sehingga mempengaruhi citra koperasi.Dari sisi eksternal, terdapat semacam ambiguitas pemerintah dalam konteks pengembangan koperasi. Karena sumberdaya dan budidaya koperasi lebih di alokasikan untuk menguraikan konflik-konflik sosial politik, maka agenda ekonomi kOnkret tidak dapat diwujudkan. Koperasi jadi impoten, di mana fungsi sebagai wahana mobilisasi tidak dan perjuangan perekonomian rakyat kecil tidak berjalan. Jadi langkah pembenahan koperasi, pertama-tama harus dapat merestrukturisasi hambatan internal, dengan mengkikis habis segala konflik yang ada. Untuk mengganti mentalitas pencarian rente yang oportunitis, dibutuhkan upaya penumbuhkembangan etos dan mentalitas kewirausahaan para pengurus dan angota koperasi. Langkah-langkah inovasi usaha perlu terus ditumbuhkembangkan. Kedua, pembenahan manajerial. Manajemen koperasi dimasa datang menghendaki pengarahan fokus terhadap paasr, sistem pencatatan keuangan yang baik, serta perencanaan arus kas dan kebutuhan modal mendatang. Ketiga, strategi integrasi keluar dan kedalam. Dalam integrasi ke luar, dibutuhkan kerjasama terspesialisasi antar koperasi maupun kerjasama dengan para pelaku lainnya dengan prinsip saling menguntungkan. Ke dalam, koperasi dituntut untuk menempatkan anggotanya sebagai pelaku aktif dalam proses produksi dan distribusi dapat memenuhi suarat-syarat penghematan biaya, pemanfaatan modal, spesialisasi, keorganisasian, fleksibilitas dan pemekaran kesempatan kerhja. Menurut Indra Ismawan (2001), pada gilirannya koperasi akan memadukan istrilah  the bigger is better  dengan  small is beautiful.


Daftar Pustaka




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Wajah Koperasi di Indonesia Saat Ini




Dalam rangka menyelesaikan tugas sofskill untuk mata kuliah ekonomi koperasi, saya akan membahas  sedikit ulasan topik mengenai “Wajah Koperasi di Indonesia Saat Ini”.
Nah, apa itu koperasi?  Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1992, koperasi adalah  Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan

Lantas, bagaimana sejarah terbentuknya koperasi di Indonesia? Sejarah singkat gerakan koperasi bermula pada abad ke-20 yang pada umumnya merupakan hasil dari usaha yang tidak spontan dan tidak dilakukan oleh orang-orang yang sangat kaya. Koperasi tumbuh dari kalangan rakyat, ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme semakin memuncak. Beberapa orang yang penghidupannya sederhana dengan kemampuan ekonomi terbatas, terdorong oleh penderitaan dan beban ekonomi yang sama, secara spontan mempersatukan diri untuk menolong dirinya sendiri dan manusia sesamanya.
Pada tahun 1896 seorang Pamong Praja Patih R.Aria Wiria Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priyayi). Ia terdorong oleh keinginannya untuk menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Maksud Patih tersebut untuk mendirikan koperasi kredit model seperti di Jerman. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda. De Wolffvan Westerrode sewaktu cuti berhasil mengunjungi Jerman dan menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Selain pegawai negeri juga para petani perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon. Ia juga menganjurkan mengubah Bank tersebut menjadi koperasi. Di samping itu ia pun mendirikan lumbung-lumbung desa yang menganjurkan para petani menyimpan pada pada musim panen dan memberikan pertolongan pinjaman padi pada musim paceklik. Ia pun berusaha menjadikan lumbung-lumbung itu menjadi Koperasi Kredit Padi. Tetapi Pemerintah Belanda pada waktu itu berpendirian lain. Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian dan Lumbung Desa tidak dijadikan Koperasi tetapi Pemerintah Belanda membentuk lumbung-lumbung desa baru, bank –bank Desa , rumah gadai dan Centrale Kas yang kemudian menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semua itu adalah badan usaha Pemerntah dan dipimpin oleh orang-orang Pemerintah.
Pada zaman Belanda pembentuk koperasi belum dapat terlaksana karena:
1. Belum ada instansi pemerintah ataupun badan non pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang koperasi.
2. Belum ada Undang-Undang yang mengatur kehidupan koperasi.
3. Pemerintah jajahan sendiri masih ragu-ragu menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir koperasi itu akan digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah jajahan itu.
Mengantisipasi perkembangan koperasi yang sudah mulai memasyarakat, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan perundangan tentang perkoperasian. Pertama, diterbitkan Peraturan Perkumpulan Koperasi No. 43, Tahun 1915, lalu pada tahun 1927 dikeluarkan pula Peraturan No. 91, Tahun 1927, yang mengatur Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi bagi golongan Bumiputra. Pada tahun 1933, Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan Peraturan Umum Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi No. 21, Tahun 1933. Peraturan tahun 1933 itu, hanya diberlakukan bagi golongan yang tunduk kepada tatanan hukum Barat, sedangkan Peraturan tahun 1927, berlaku bagi golongan Bumiputra. Diskriminasi pun diberlakukan pada tataran kehidupan berkoperasi
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve.
Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.
Namun, pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya. Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Sekaligus membentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya (Bandung sebagai ibukota provinsi sedang diduduki oleh tentara Belanda) .

Dari uraian diatas, kita bisa melihat bahwa berdirinya koperasi di Indonesia melalui banyak hambatan dan proses yang sangat panjang.  Sehingga pada akhirnya koperasi di Indonesia mendapat pengakuan hukum yang sah. Dari sejarah tersebut seharusnya kita bersyukur dan mampu memaksimalkan kinerja koperasi di Indonesia saat ini. Namun, apa yang terjadi? Bagaimana wajah koperasi Indonesia saat ini? Apakah koperasi di Indonesia sudah memiliki standar mutu yang baik? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa memperhatikan kondisi koperasi-koperasi di sekitar kita. Lantas bagaimana? Maka dengan cepat kita menjawab “memprihatinkan, buruk sekali, nothing”. Miris sekali bukan? Bahkan kita yang asli warga negara Indonesia memandang sebelah mata koperasi di Indonesia. Dan yang lebih miris lagi bahwa banyak sekali generasi muda yang tidak tahu menahu dan peduli bagaimana nasib wajah koperasi Indonesia saat ini. Saya rasa banyak dari kita yang beranggapan bahwa ada tidaknya koperasi saat ini tidak berpengaruh apa-apa. Cukup simpel, “Nothing”. Maka dari itu, marilah kita buang jauh-jauh anggapan yang seperti itu. Kita harus mulai untuk lebih mengenal, peka dan peduli dengan keadaan koperasi saat ini. Sehingga kita dapat memperbaiki kondisi miris koperasi di negara kita. Karena kita sebagai masyarakat berperan penting dalam memajukan aspek pengkoperasian di Indonesia. 

Saat ini masih banyak kelemahan-kelemahan koperasi di Indonesia saat ini seperti:  Koperasi sulit berkembang karena modal terbatas, kurang cakapnya pengurus dalam mengelola koperasi, pengurus kadang-kadang tidak jujur, serta kurangnya kerja sama antara pengurus, pengawas dan anggotanya. Kondisi koperasi semakin diperparah dengan banyaknya koperasi yang tidak aktif dan berhenti beroperasi.

Mengapa koperasi tidak berkembang dengan baik di Indonesia?. Banyak faktor yang menjadi penyebab. Sejak Bung Hatta berhenti jadi wakil presiden, koperasi tidak lagi berjalan dan beroperasi sesuai jatidirinya, tetapi menjadi alat politik penguasa. Di zaman orde lama, koperasi menjadi alat politik Bung Karno dalam mendistribusikan barang kebutuhan pokok rakyat, menjadi semacam Bulognya pemerintah. Pada era Orde Baru, seluruh koperasi diubah dan dialihkan menjadi KUD yang difasilitasi pemerintah agar tumbuh menjadi koperasi serba usaha sekaligus koperasi pertanian. Karena selalu diberi kemudahan, KUD-KUD tersebut menjadi manja fasilitas. Pada saat berbagai fasiitas itu dihentikan Pemerintah pada era reformasi, maka satu per satu KUD tutup dan gulung tikar. Pada era reformasi, seluruh rezim yang berkuasa tidak lagi yang memberikan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh dalam membangun perekonomian Indonesia yang disesuaikan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pembinaan koperasi oleh pemerintah menjadi tanpa arah. Pemerintah bersikap pragmatis, yang penting perekonomian tumbuh pesat, tidak peduli lagi siapa yang memegang peranan utama, konglomerat atau koperasi. Akhirnya yang memegang peranan adalah perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat swasta. Merekalah yang mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja, memperbesar APBN dengan membayar pajak, meningkatkan ekspor sehingga menghasilkan devisa yang semakin besar, menjaga pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Memang, sesuai data Kementerian Koperasi dan UKM, masih ada ratusan ribu koperasi di Indonesia. Tetapi hampir semuanya kecil dan lemah. Sekarang koperasi-koperasi pada umumnya dimasukkan dalam golongan usaha kecil dan menengah (UKM). Dalam kondisi itu, koperasi-koperasi dituntut untuk mampu bersaing dengan usaha-usaha swasta skala raksasa yang mendapatkan berbagai kemudahan seperti kredit perbankan. Sebaliknya tidak mudah bagi koperasi mendapatkan kredit untuk mengembangkan usahanya. Pembinaan koperasi akhirnya hanya menjadi basa-basi politik. Dalam kabinet tetap ada Menteri Koperasi yang selalu dipercayakan kepada politikus dari parpol yang berkuasa, tetapi tidak mengerti jatidiri koperasi. Masih ada Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang tidak pernah berganti ketua selama 15 tahun, meskipun kinerjanya memprihatinkan.

Bila dibandingkan, koperasi di negara-negara maju menguasai berbagai sektor perekonomian. Koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan moderen di berbagai negara Eropa khususnya negara-negara Skandinavia. Di negara-negara seperti Prancis, Austria, Finlandia dan Siprus; koperasi menguasai sektor perbankan. Menurut data International Co-operative Alliance, pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar sepertiga dari total bank yang ada. Sebagai contoh, dua bank terbesar di Eropa, yaitu: Credit Agricole di Prancis dan RABO-Bank di Belanda dimiliki oleh koperasi. Lantas, apakah Indonesia tidak mungkin bersaing dengan koperasi-koperasi maju diatas? Tentu saja mungkin. Indonesia memiliki jumlah populasi penduduk yang besar serta sumber daya yang melimpah. Hal ini menjadi sisi positif bukan? Oleh karena itu, kita tetap harus positive thinking dengan bekerja sama membangun koperasi yang lebih baik ke depannya. Bersama pemerintah maupun masyarakat untuk saling peduli terhadap kesejahteraan koperasi di Indonesia.



Daftar Pustaka

http://www.kompasiana.com/mjnasti/seandainya-koperasi-konsumen-indonesia-bernama-indomaret-alfamart_54f33ce37455139f2b6c6d3e

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS