Obsesi Terhadap Nilai



Hii..Berhubung saya seorang mahasiswa yang masih aktif kuliah, saya ingin berbagi pendapat dalam tulisan saya kali ini mengenai “Obsesi terhadap Nilai”. Namun sebelum itu saya akan menjelaskan arti nilai itu sendiri. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Saya juga akan memberikan contoh kasus yang berhubungan dengan topik ini. Di simak yaa..

TEMPO.CO , Jakarta: Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI ) Retno Listyarti menjelaskan beberapa pola kecurangan yang berhasil terpantau oleh FSGI selama pelaksanaan ujian nasional untuk sekolah menengah atas dan sederajat sejak Senin, 13 April hingga Rabu, 15 April 2015.

Retno menjelaskan di Jawa Timur, khususnya Mojokerto dan Lamongan, ada laporan jual beli kunci jawaban UN. Harga kunci jawaban mencapai Rp 14 juta. "Para siswa saweran rata-rata sebesar Rp 50 ribu," kata Retno saat dihubungi Rabu, 15 April 2015.

Selain di Jawa Timur, di DKI Jakarta pun terjadi jual beli kunci jawaban antara Rp 14 juta hingga Rp 21 juta. Para siswa juga dikoordinasi untuk patungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.

Seorang guru juga melapor telah berhasil mengunduh 30 jenis soal ujian nasional untuk jurusan IPA dari dunia maya. Soal yang bocor adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Dari 30 file dalam bentuk PDF itu, sang pelapor mengaku berhasil mengunduh sebanyak 25 file.

Menurut Retno, soal yang diunduh itu ternyata sama persis untuk wilayah Pemalang, Bandung, dan Jakarta. "Di Jakarta, beberapa soal sama, tapi hanya dibedakan angkanya saja. Kesamaannya mencapai 50 persen," katanya.

Modus lain kecurangan itu adalah siswa mencontek dengan menggunakan handphone dan sobekan kecil. Ini terjadi di beberapa daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Lamongan, dan Jakarta. Retno mengatakan masih ada kecurangan dilakukan dengan melibatkan tim sukses di sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat.

"Sampai hari H hanya ada 3 laporan dari 3 daerah tentang hal itu. Padahal tahun lalu modus ini banyak ditemukan di berbagai daerah," kata Retno enggan menyebutkan tiga daerah itu.

Cara yang melibatkan tim sukses sekolah adalah para siswa hanya perlu menyebutkan nama, nomor ujian, dan nama sekolah kepada oknum. Kemudian petugas pemindai yang akan mengubah jawaban sesuai permintaan dan besarnya bayaran. "Makin banyak yang dibetulkan, makin mahal bayarannya," kata Retno. Pada modus ini, siswa harus merogoh kocek antara Rp 6 juta hingga Rp 12 juta per siswa.

Pada hari terakhir ujian nasional untuk Paper Based Test, Rabu 15 April, FSGI menerima laporan ketidaksinkronan antara audio dengan jawaban pada soal yang diterima siswa pada ujian mata pelajaran Bahasa Inggris. Soal bagian pendengaran sebanyak 15 soal dianulir dan dianggap bonus oleh panitia UN, sehingga soal untuk bahasa Inggris dari 50 soal hanya dihitung sebanyak 35 soal saja.

"Kasus eror ini terjadi di Blitar, Malang, Sidoarjo, Tulungagung, serta Banyuwangi," kata Retno.
Pada pelaksana UN 2015, FSGI membuka posko pengaduan di 46 kabupaten/kota. Tempat itu beberapa di antaranya adalah Medan, Deli Serdang, Binjai, Purbalingga, Pemalang, Mojokerto, Blitar, Gresik, Lamongan, Malang, Sidoarjo, Tulungagung, Banyuwangi, Surabaya, Indramayu, Garut, Bandung, Bekasi, Bogor, Tasikmalaya, Kota Mataram, Kota dan Kabupaten Bima, Jambi, DKI Jakarta, Bengkulu, Batam, Pekan Baru, Balikpapan, serta Kutai Barat.

Dari contoh kasus diatas, kecurangan-kecurangan yang terjadi bukanlah lagi masalah baru. Kita sudah sering mendengarnya.  Pastinya sangat memprihatinkan. Namun saya tidak akan mengulas mengenai masalah tersebut melainkan cara pandang kita yang melatarbelakangi perisiwa tersebut.

Seperti judulnya, kita tahu bahwa saat ini sistem pendidikan di Indonesia terfokus terhadap nilai yang dicapai seseorang. Kurikulum menuntut kita untuk mencapai standar nilai agar mendapat kelayakan atau kelulusan agar diakui. Hal ini menjadi beban tersendiri dikalangan pelajar ataupun mahasiswa. Seperti  halnya ujian nasional, beban seorang siswa agar dapat mencapai nilai kelulusan menyebabkan banyaknya kasus kecurangan yang terjadi. Standar nilai yang tinggi memaksa  siswa untuk bisa lulus bagaimanapun caranya, misalnya mencari kunci jawaban. Banyak yang beranggapan bahwa bahkan siswa pintar yang mendapat peringkat tinggi disekolah bisa tidak lulus apalagi yang biasa-biasa saja . Tentu saja pemikiran ini sering terlintas di benak kita semua. Lantas siapa yang bermasalah? Siswa? Guru? Sekolah? Pemerintah? Ntahlah. Dulu saat saya masih dijenjang sekolah, saya selalu berfikir apakah standar nilai yang demikian itu pantas untuk dijadikan patokan terhadap layak tidaknya seseorang dikatakan lulus dalam jenjang itu? Apalagi sistem pendidikan di Indonesia belum merata keseluruh daerah. Sekolah- sekolah yang berada di pelosok daerah disamakan standarnya dengan sekolah yang ada di kota. Bayangkan sekolah- sekolah di pelosok, dengan fasilitas minim dan tenaga pendidik yang  terbatas harus dipaksa mampu lulus dengan nilai yang sudah ditetapakan oleh pusat.  Miris sekali bukan?

Ada lagi masalah serupa dikalangan mahasiswa. Jelas kita tahu persoalannya tidak jauh-jauh dari IPK. Untuk memasuki instansi pekerjaan di Indonesia saat ini tidaklah mudah. Setiap perusahaan atau lembaga usaha yang membuka lowongan pekerjaan pastinya memiliki standar nilai tersendiri . Namun, untuk tahap awal perusahaan-perusahaan tersebut pastinya akan menyeleksi berkas lamaran pekerjaan calon karyawannya. Mereka akan memulai dengan membatasi pelamar dengan menetapkan IPK terlebih dahulu yang biasanya berkisar  >2,75. Dengan terbatasnya lapangan pekerjaan saat ini, apalagi yang diperparah dengan isu MEA tentunya kita sebagai generasi muda akan mulai mawas diri dengan keadaan yang seperti ini.  Jujur saja,  isu-isu mengenai tingkat inflasi yang tinggi, banyaknya pengangguran,  nilai tukar rupiah yang lemah menjadi beban yang mengahantui kita. Kita sebagai generasi muda mulai berpikiran mengenai bagaimana caranya kita mampu mendapat pekerjaan yang layak ke depannya.  Kita mulai beranggapan bahwa untuk mendapat pekerjaan tersebut harus mampu melewati ujian seleksi penerimaan karyawan baru dengan cara melewati berkas terlebih dulu. Bagaimana mungkin bisa masuk kalau berkas saja tidak diterima. Selain dari kemampuan dan lain-lain, tentunya IPK berperan besar didalam berkas tersebut.  Karena itulah, sejak dini kita mulai mengubah cara pandang kita dalam mengatasi hal ini. Tentunya dengan beranggapan bahwa kita bersekolah untuk mendapat pekerjaan. Kita belajar di jenjang pendidikan agar kelak mendapatkan kehidupan yang layak. Cara pandang inilah yang kemudian menjadi landasan pemahaman kita mengenai standar nilai yang harus kita capai untuk memenuhi tujuan-tujuan tadi. Bagaimana? Dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/kejuruaan, sampai perguruan tinggi. kita mulai terobsesi terhadap nilai yang diberikan guru. Kita mulai mengukur keberhasilan kita dengan kuantitas nilai. Ntah itu 80, 90 atau 100. Para murid dan guru berasumsi bahwa murid yang mendapat nilai yang tinggi pasti pintar. Sedangkan untuk anak yang nilainya rendah akan dianggap bodoh. Landasan pemikiran seperti ini membuat kita semakin berpandangan sempit terhadap obsesi kita terhadap nilai-nilai yang diukur dengan angka tersebut. Obsesi nilai ini bisa kita lihat dari berbagai elemen masyarakat. Misalnya Belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) saat hendak ujian, padahal ilmu yang didapat dengan cara seperti ini akan mudah terlupakan. Lalu kita dengan mudahnya  beranggapan “yang penting itu ujiannya”. Yaampun..bayangkan saja apabila ada > 50% orang anak berpikiran begitu dalam satu sekolah. Jujur saja, saya juga masih seperti itu. Kalau dipikir-pikir buruk sekali bukan? Padahal seharusnya kita belajar untuk memperkaya wawasan kita dengan ilmu-ilmu bermanfaat yang kemudian bisa kita implementasiakan dalam kehidupan. Begitu pula saat proses belajar-mengajar di kelas. Hanya segelintir orang yang akan benar-benar serius mengikuti pelajaran ketika kemampuan guru menerangkan  kurang baik. Kebanyakan siswa akan bergosip ria, menghayal, atau melakukan hal-hal yang dirasa nggak penting dengan anggapan “yang penting datang, ngerjain tugas, pulang” tanpa peduli ilmu apa yang dilewatkan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi dengan mencontek saat ujian seperti contoh kasus sebelumnya lalu beralasan “yang penting nilainya bagus” yang kemudian pandangan-pandangan tersebut mendominasi di masyarakat.

Kalau sudah begitu, siapa yang akan disalahkan? Tentunya tak ada pihak manapun yang mau disalahkan. Yaa itu sih tergantung individunya. Lantas apakah dengan tolak ukur nilai yang seperti itu sudah efektif? Saya rasa jawabannya belum. Mengapa? Karena seperti contoh kasus yang sudah diuraikan diatas, demi bisa lulus ujian kecurangan demi kecurangan dilakukan “apapun dihalalkan”.  Ironis memang, namun seperti itulah yang terjadi. Ini nyata terjadi di sekeliling kita. Nilai yang menjadi tolak ukur individu perlahan mengubah pandangan kita sedikit demi sedikit dan menyebabkan diri kita menjadi individu yag terobsesi dengan nilai. Bagaimana menurutmu?

Sekian untuk tulisan saya mengenai “Obsesi Terhadap Nilai”. Setiap orang punya pendapatnya masing-masing. Terimakasih, semoga bermanfaat^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar